![]() |
Fisika mungkin sulit, tapi fisika itu indah |
Selain sibuk mencecar orang tua dengan pertanyaan “kenapa?”
saya juga sering sekali merusak mainan saya sendiri. Mainan baru saya mungkin tidak
sampai seminggu hingga jadi tidak utuh, entah apanya pasti ada yang hilang.
Semua itu saya lakukan hanya karena saya ingin tahu saya bagaimana cara
kerjanya. Saya dapat mainan baru, terus saya mainkan sampai puas. Setelah bosan
saya bongkar mainannya, dan setelah itu saya susun kembali seperti baru. Ada
beberapa yang berhasil jadi baik, tapi tidak sedikit yang gagal. Dan ketika
gagal menyusunnya saya akan emosi sambil teriak-teriak “Bagaimana ini?
Bagaimana ini? Bodoh mainan ini? Bodoh ini?”. Dan pada akhirnya mainan malang
itu saya banting dan jadilah barang rongsokan.
Ada yang menarik saat itu, pernah kuku jempol saya hilang hanya
karena saya sibuk membetulkan mainan saya sendiri. Waktu itu saya punya mainan
mobil-mobilan yang besar, model truk lebih tepatnya. Seperti anak-anak lelaki
pada umumnya. Mobil-mobilan saya juga diberi tali diujungnya supaya bias ditarik-tarik.
Di isi muatan pada baknya kemudian ditarik keliling halaman. Setelah puas,
tibalah waktunya bereksplorasi. Saya bongkar baknya, kepalanya, roda-rodanya
hingga tersisa badannya. Kemudian saya susun kembali. Semua itu saya lakukan
diatas kursi panjang tanpa sandaran yang biasa dipakai duduk sampai empat-lima
orang sebagai meja sambil berdiri dilantai. Nah waktu itu jempol kaki saya
gatal karena digigit semut. Untuk mengurangi rasa gatalnya saya tempatkan
jempol kaki saya sebagai pijakan kaki kursi. Maksudnya supaya rasa gatalnya
dpat dinetralisir dengan rasa sakit-sakit diinjak kursi. Setelah saya susun
semua mainan saya maka tinggalah baknya
yang terakhir yang akan saya pasang. Pikiran saya supaya baknya bisa terpasang
maka baknya harus ditekan kuat-kuat diatas badan mobil-mobilan. Malangnya saya,
karena serius memperbaiki mainan sampai saya lupa ada kaki saya dibawah
kursinya. Sontak saya berteriak dan menangis kuat-kuat. Jempol kaki saya
berdarah dan kukunya lepas digantikan kuku baru, sama seperti gigi susu saya
yang lain. Malangnya..~
Saya tidak bisa lupakan kejadian ini dan sejak saat itu saya
mulai tanamkan dalam diri bahwa saya harus teliti dalam bekerja dan keselamatan
mesti diutamakan.
Waktu SD pengenalan mata pelajaran sains dimulai saat
kenaikan kelas tiga. Alhamdulillah orang tua saya (tepatnya ayah saya) adalah
pegawai negeri di departemen sosial di kota, jadi terkadang saya dibelikan buku
pelajaran sekembalinya dari kota, termasuk buku IPA dan lain-lain. Tapi melalui
tulisan ini sebenarnya saya mau protes sebab buku yang dibeli pasti tidak
terpakai karena semuanya tidak sama dengan yang dipakai guru. Dari beberapa
buku pelajaran yang saya baca, buku IPA lah yang menarik perhatian saya.
Didalam buku itu dijelaskan semua rahasia alam yang ingin saya ketahui sejak
lama, tentang diri saya,tentang tubuh saya, tentang lingkungan saya, tentang
hewan, tumbuhan, bumi, planet, tata surya bahkan bintang yang berkelap-kelip
dimalam hari. Semua pengetahuan ini tidak saya dapatkan dibuku pelajaran lainnya
maupun dari orangtua saya sendiri. Mulai dari sinilah saya menyukai mata
pelajaran IPA. Di IPA lah semua jawaban segala pertanyaan “kenapa” saya itu.
Oh ya mengenai SD saya, saya bersekolah dasar disebuah
kampung transmigrasi dipedalaman. Semenjank saya duduk kelas 1 sampai kelas 3,
sekolah saya masih berdinding papan, beralaskan tanah, beratap seng dan
berlangit-langitkan anyaman bambu. Kondisinya juga tidak bisa dikatakan baik
karena sudah lama berdiri. Nanti kenaikan kelas empat baru mulai direnovasi
dengan didnding beton. Tapi bahkan sampai sekarang ruangan kelas sekolah saya
hanya ada empat. Tiga rungan kelas dan satu ruang guru dan kepala sekolah. Satu
ruangan kelas dalamnya dibagi menjadi dua kelas yang diberi sekat papan. Satu
ruangan untuk kelas 1 dan 2, satu ruangan lagi untuk kelas 3 dan 4, dan satu
ruangan lagi untuk kelas 5 dan 6. Total jumlah guru kami hanya ada 3 orang guru
dan satu kepala sekolah. Masing –masing guru mengajar untuk tiap ruang kelas.
Seperti dalam film “Tanah Surga, Katanya..” setelah si guru selesai mengajar kelas
3 maka ia akan berbalik keseberang sekat mengajar kelas 4. Alhasil proses
belajar-mengajar tidak berjalan dengan baik. Saya baru menyadari sekolah saya
termasuk terbelakang setelah saya merantau ke kota.
Saya pertama kali mengenal teori relativitas Einstein saat
kelas 5 SD. Waktu itu ada bantuan buku-buku perpustaan dari pemerintah. Pihak
sekolah kemudian mulai mengoperasikan perpustakaan sekolah. Nah dari sinilah
saya peroleh bacaan-bacaan menarik, ensiklopedia tentang fakta-fakta didunia,
tentang bencana alam, tentang astronomi, dll. Yang paling menarik menurut saya
adalah buku ensiklopedia tata surya dan alam semesta, didalamnya banyak
info-info tentang Bumi, Matahari, Bulan, Planet-Planet seperti Merkurius, Venus,
Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto (waktu itu Pluto masih
disebut planet). Beberapa informasi tentang wajah semesta juga ada, salah satu
yang saya ingat ialah gambar tentang bentuk ruang yang melengkung akibat tarikan
gravitasi, di contohkan seperti sebuah bola yang berada diatas kain yang
dibentangkan. Kain yang melengkung ini diibaratkan ruang yang melengkung karena
adanya bola. Ini adalah teori relativitas umum Einstein tentang ruang dan
gravitasi. Saya baru mengetahui penjelasan tentang ini ketika duduk dibangku
SMA kelas 3.
Selain sains atau IPA sejak SD saya juga suka mata pelajaran
matematika. Sebenarnya waktu SD dulu saya merupakan siswa berprestasi. Sejak
kelas 1 sampai kelas 6 saya selalu memperoleh rangking 1 tiap triwulannya, atau
tiap semesternya. Terkecuali kelas 3 (kelas 3 saya dapat juara 2). Kabarnya
teman wanita saya yang dapat juara 1 itu dibelikan sepeda karena berhasil
mengalahkan saya (sepertinya dia harus berterimakasih pada saya :D). Tapi saya
merasa tidak puas dengan system penilaiannya. Waktu itu kami diajar oleh guru
baru. Dan maaf saya merasa keobjektifitasan beliau kurang. Sayangnya teman
wanita saya itu pindah sekolah pada saat kenaikan kelas 4. Jadi bisa dipastikan
setiap pembagian rapor muncul kalimat “pasti Satrio lagi yang juara satu”.
Kembali ke topik, kelas 5 SD saya mewakili sekolah saya
dalam lomba cerdas cermat matematika. Untuk pertamakalinya dalam hidup saya
berkompetisi membawa nama sekolah. Kompetisi pertama itu masih tingkat gugus.
Saya ingat saya di grub A (sebenarnya bukan grub karena kompetisinya individu),
selain saya ada lima atau enam anak yang jadi saingan saya. Ada tiga babak yang
disediakan, babak pertama ialah babak amplop, babak kedua babak lempar dan
terakhir babak rebutan. Karena saya dapat nomor urut A maka saya duluan maju
untuk memilih amplop soal saya. Semua soalnya dibacakan secara lisan sehingga
kalau bukan menghayal ya harus mencakar dikertas yang disediakan. Hampir semua
soal amlop saya jawab dengan benar dan membuat nilai saya sempurna dibandingkan
lawan-lawan saya yang lain. Yang lain banyak yang tidak bisa dijawab. Kemudian
tibalah babak kedua, babak lempar. Sama seperti babak pertama tadi saya
mengambil amplop soal saya akan tetapi apabila saya tidak bisa menjawab maka soal
tersebut dilempar ke peserta lain. Nah ada yang lucu dibabak kedua ini, semua
soal yang diberikan pada saya habis saya lahap sehingga tidak ada kesempatan
bagi lawan saya untuk memperoleh penambahan poin. Kalaupun saya tidak bisa
menjawab, merekapun pasti sama.
Setelah soal saya habis, maka peserta B kini
yang diberikan soal. Beberapa soal peserta B tidak bisa dijawab maka dilempar
ke C, C tidak bisa dilempar ke D, D tidak bisa dilempar ke E, dan jika E tidak
bisa menjawab juga maka dilempar ke A. setiap soal yang dilempar ke saya, saya
jawab dengan benar sehingga nilai saya semakin bertambah banyak. Karena
seringnya saya melahap soal orang lain maka penonton akan bersorak kalau saya
menjawab dengan benar. Ini menimbulkan kecemburuan peserta lain. Nah lucunya
karena mungkin jurinya sudah bosan melemparkan soal sama saya atau karena nilai
saya sudah melambung tinggi dibandingkan peserta lainnya (nilai saya sudah
ribuan sedangkan peserta lain hanya ratusan), jika peserta E tidak mampu jawab
soal langsung dilempar ke peserta B, meloncati nama saya. Ini terjadi beberapa
kali. Tentu saja ini kecurangan terlepas perolehan poin saya banyak atau tidak.
Tapi baik guru saya maupun penonton tidak ada yang berani protes (masa saya
yang harus turun tangan?)
Diawal babak ketiga, babak rebutan tiba-tiba mag saya kambuh
sehingga saya harus beristirahat meninggalkan arena. Tetapi walaupun saya tidak
mengikuti babak ketiga secara penuh, perolehan poin saya sudah sangat banyak
sehingga tidak mampu dilampaui oleh peserta lain dan pada akhirnya saya menjadi
pemenang ditingkat gugus untuk melanjutkan lomba di tingkat kecamatan.
Saat SMP ketertarikan saya terhadap fisika semakin bertambah.
Fisika menjadi ilmu yang paling menarik karena mampu menjelaskan fenomena alam
yang membuat saya penasaran sejak SD dulu. Di tambah lagi ada seorang guru
baru, masih muda dan sangat inpiratif. sayang saya lupa namanya, karena beliau
baru terangkat jadi guru di akhir studi SMP saya. Ada cerita yang menarik
ketika saya masih SMP. Kelas kami kelas 3C. Nah saat itu SMP kami hanya ada dua
ruang kelas untuk kelas 3 SMP, sehingga ruangan kelas kami terpaksa di lakukan
diruang laboratorium. Jadi bisa dibilang saat kelas 3 SMP tiap hari kami
belajar di ruang laboratorium J
Karena laboratorium ini adalah ruang kelas, pada akhirnya
menjadi bebas di akses oleh siswa. Termasuk saya. Berbagai macam alat-alat
dalam laboratorium kami bongkar, batang magnet, microskop, alat destilasi, dll
kami bongkar-bongkar tanpa tahu panduan penggunaanya. Maklum, selama SMP kami
tak pernah dapat mata pelajaran eksperimen. Karena itu saya heran mengapa bisa
ada laboratorium dalam sekolah kami?
Oh ya, saya ingin deskripsikan ruang laboratorium kami. Lab
kami ada dua ruangan, ruangan pertama yang biasanya untuk tempat praktek di jadikan
ruang kelas kami. Dan ruang satunya lagi adalah ruang tempat penyimpanan alat
dan bahan praktikum. Ruang ini tidak terkunci namun ketika pintunya tertutup
akan sulit dibuka dari dalam. Nah, suatu hari saya dan teman-teman saya
(sekitar belasan orang) masuk dalam ruangan tersebut dengan pintu tertutup.
Masing-masing teman saya sibuk bereksperimen tanpa panduan. Dan teman saya,
Heri sibuk membongkar-bongkar lemari kimia dalam ruangan ini. Di dalam lemari
tersebut ada banyak macam zat kimia dalam berbagai bentuk, cair dan padatan.
Dia campurkan berbagai macam larutan dalam satu wadah. Mula-mula satu dua
cairan, tampak biasa tidak terjadi apa-apa, campurkan cairan
ketiga-keempat-kelima entah sampai keberapa. Hanya perlu beberapa detik cairan
tersebut akhirnya bereaksi, berubah warna, memanas, berbusa, menguap dan… meledak.
DUUAARRR! Karena pintu tertutup jadi tidak bisa dibuka dari dalam. Kami
Terkunci dalam sebuah laboratorium yang meledak! Sontak semua teman-teman
wanita saya berteriak histeris. Beberapa teman-teman laki-laki mencari jalan
keluar dengan loncat dari jendela. Hanya perlu beberapa detik membuat ruangan
sempit itu menyebarka rasa kaget, takut, histeris dan aroma mesiu. Namun
setelah pasrah beberapa menit tampaknya tak ada tanda-tanda akan terjadi
ledakan kedua. Alhamdulillah.
Kejadian ini membuat kami belajar sesuatu yang penting,
bukan berhenti bereksplorasi, sebaliknya jangan pernah takut untuk mencoba :D.
Setelah keadaan tenang kami kembali memeriksa wadah campuran tersebut, tidak
ada tanda-tanda ledakan, tidak pecah, tidak ada cipratan, yang tersisa hanya
panas dalam wadah tersebut. Dan karena ruangannya tertutup, suara ledakan tidak
terdengar sampai ke ruang guru. Keuntungan ini kami manfaatkan untuk
membersihkan ruang laboratorium dan merahasisakannya secara bersama dari
pengetahuan Guru. Yah, setidaknya sampai saya menuliskan kisah ini guru kami
belum mengetahui kalau cerita ini pernah terjadi di sekolah kami.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, kami belajar sesuatu
yang penting, namun bukan berhenti bereksplorasi, sebaliknya jangan pernah
takut untuk mencoba. Lagi. Kami kembali bermaksud membuat “bom petasan” itu
lagi. Tapi bukan di ruang lab, kali ini di kebun sekolah. Kami bawa beberapa
botol cairan yang ada dalam lemari. Tapi walaupun begitu, teman saya Heri sudah
lupa cairan apa saja yang dia campurkan sebelumnya. Alhasil kembali kami
coba-coba mencampurkan berbagai macam zat kimia tanpa pengetahuan apapun.
Campuran tersebut tetap membuat reaksi berupa panas dan berubah warna, namun tidak
berhasil membuat ledakan. Dan sekali lagi kami belajar, bahwa kebetulan itu
takkan terjadi untuk kedua kalinya J
Saat SMA pun tiba, ketertarikan saya terhadap fisika sedikit
mengalami cobaan. Guru fisika SMP saya berbeda karakter dengan guru SMA saya. Beliau
(guru fisika SMA saya) adalah seorang wanita, penuh kedisiplinan, “sedikit”
cerewet, kalaupun bukan galak namun sering memarahi kami jika datang terlambat
atau tidak membawa penggaris. Hasilnya, fisika menjadi momok yang menakutkan
bagi siswa, fisika menjadi kaku dan angker, tidak ada keasyikan dalam belajar
fisika, apabila dalam proses belajar itu, sebuah kesalahan menjadi sesuatu yang
di anggap buruk. Melalui tulisan ini
saya pun ingin sedikit mengkritisi pola pembelajaran fisika seperti ini yang
juga sering di alami di berbagai daerah di Indonesia. Jangan sampai cara
mengajar seperti ini justru menghasilkan siswa-siswa yang takut akan fisika.
Pembelajaan fisika yang baik ialah pembelajaran yang mengedepankan kebebasan
berekspresi bagi siswanya, bebas berpikir, bebas bertanya, dan bebas
bereksplorasi. Fisika adalah ilmu paling dasar tentang kehidupan yang harusnya
wajib diketahui oleh semua manusia. Fisika juga yang menjelaskan semua fenomena
alam yang hadir dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Seyogyanya ilmu fisika
adalah seuatu yang menarik bagi setiap orang. Dan ini merupakan tugas besar
bagi para pendidik untuk mentransferkan ilmu fisika secara asyik dan
menyenangkan.
Walaupun begitu, kehidupan SMA saya bersama fisika sama
seperti masa-masa SMP. Saya selalu menjadi yang terbaik di kelas untuk bidang
fisika. Semua teman-teman saya bila mengalami kesulitan dalam mata pelajaran
fisika pasti akan bertanya ke saya. Bisa dibilang berkat fisika lah yang
membuat saya tersohor di kelas. Sampai-sampai teman-teman saya menyebut saya
“professor”. Kelas 2 SMA saya mengikuti Olimpiade Astronomi, mengapa astronomi?
Karena ilmu atronomi tidak dipelajari dalam mata pelajaran apapun di tingkat
sekolah. Sehingga saya berharap dengan mengikuti les olimpiade Astronomi ini
saya dapat memperoleh ilmu baru. Astronomi inilah yang membuat saya
terkagum-kagum akan keindahan alam semesta. Belajar Astronomi sesungguhnya
seperti belajar melukiskan kehidupan, penciptaan dan akhir alam semesta. Seolah-olah
mampu menembus pikiran sang Pencipta
bahwa alam semesta yang indah ini telah dirancang oleh-Nya mengikuti
kaidah-kaidah hukum alam yang berlaku universal di semua semesta. Hukum alam
inilah yang kemudian kita kenal sebagai ilmu Fisika.
Ya, Fisika telah membuat saya jatuh cinta kepadanya. Fisika
juga yang membuat saya bersyukur karena membuat saya mengetahui banyak rahasia
alam. Fisika pula lah yang mengenalkan saya akan kebesaran Tuhan, sang
pencipta. Dan tepat hari ini, saya telah menjadi seorang mahasiswa Fisika di
suatu perguruan tinggi di Sulawesi tengah. Dalam masa studi saya yang tidak
lama lagi ini, saya akan menjadi seorang sarjana fisika. Mimpi saya menjadi
seorang fisikawan dunia pun semakin dekat. Saya harus mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya. Saya sudah bertekad untuk mendedikasikan hidup saya untuk
Tuhan, bangsa dan ilmu pengetahuan, utamanya fisika. Mungkin karena fisika adalah
panggilan jiwa saya.
0 komentar :
Posting Komentar